Halaman

Selasa, 10 September 2013

Asholatud Dakwah

Bismillahirrahmaanirrahim..

Waw, kali ini ana mulai menulis tentang hal-hal yang serius.. Padahal baru sebentar terjun ke dunia dakwah kampus yang ternyata jauh sekali bedanya dengan dakwah sekolah. Tapi insyaallah tetap bermanfaat bagi kita semua. Amiin..

Apabila kita membahas sesuatu, ada baiknya kita membahas pengertiannya terlebih dahulu. Ashalah secara bahasa, ‘Asli’. Sebagaimana kita ketahui seperti ilmu Ushul Fiqh, yaitu ‘asal fiqih’, darimana sumbernya hukum fiqh, dan sebab-sebab munculnya hukum tersebut. Juga ada Mushthalahul Hadits, walaupun asal kata 'mushthalah' itu bukan 'ashalah', namun ilmu ini juga merupakan ilmu yang membahas keaslian hadits, sumber-sumbernya, apakah dari sanad yang baik dan kita bisa menentukan apakah suatu hadits itu shahih atau dha’if, bahkan maudu’.

Kembali kepada Ashalatud Da’wah, ‘kembali kepada kemurnian dakwah’. Dakwah dengan menghadirkan ruh bersamanya. Menghadirkan akhlaq-akhlaq Rasulullah bersama kita, mencontoh Rasulullah dan bersanddar pada manhaj al-Quran. Benar-benar mencontoh bagaimana Nabi Muhammad berdakwah.Semangat seperti inilah yang mampu membuat para aktivis dakwah bisa bertahan. Jangankan semangat dakwah, karena kemapanan dakwah kampus yang telah tersusun sedemikian rapi di segi alur organisasi dakwahnya, serta fasilitas yang sudah begitu lengkap dan tak ada lagi yang menghalangi dakwah jahriyah di kampus, para aktivis hanya melakukan kegiatan sebagai rutinitas yang sangat membosankan tanpa ada ghirah yang mendobrak yang akan menimbulkan inovasi atau terobosan baru. Bayangkan! Bertahun-tahun, sudah sekian kali berganti kepengurusan dengan program kerja yang sama persis?? Para aktivis dakwah hanyalah sebagai robot-robot jundiyah yang bekerja tanpa merasa, hanya pelengkap persyaratan adanya sebuah organisasi. Apa asyiknya berdakwah bila seperti itu?? 
Ashalah ini juga terkait masalah hijab, ada yang mengatakan bahwa organisasi dakwah sekarang sudah melenceng dari ashalah, sebab terlalu banyak mengadakan acara ikhwan dan akhwat. Tapi inti sebenarnya bukan masalah itu, boleh saja membuat inovasi dan terobosan baru dengan tetap menjaga kadar hijabnya dan tak kehilangan ruh dalam pelaksanaanya. 

Mari kita berkhayal -insyaallah jadi nyata- bahwa kita berada dilingkungan organisasi dakwah yang seluruh aktivis dakwahnya memiliki ruh dan semangat seperti para sahabat Rasulullah saw. Setiap kita fastabiqul khairaat, bila ada ikhwah yang melakukan suatu ibadah khusus, secara sembunyi-sembunyi ikhwah yang lain juga melakukannya karena tidak mau kalah. Bila ada ikhwah yang menghafal suatu surat dari al-Quran, bila diketahui oleh ikhwah lain ia juga akan menghafal surat tersebut. Berlomba-lomba dalam kebaikan seperti inilah yang sangat kita rindukan. Benarkan? Yang penting juga, setiap ibadah itu ada ilmunya, inilah pembeda para aktivis dengan muslimin pada umumnya.

Coba kita bandingkan tiga orang berikut. Yang manakah tipe orang yang akan melanjutkan dakwah ini dengan ghirah yang baru, dengan kemurnian cara berdakwah sebenar-benar tangguh. 

Orang yang pemalas, akan bangun pagi pukul 06.00 pada umumnya, baru ambil wudhu lalu shalat shubuh di rumah, bahkan tidur lagi.

Orang yang hanif namun bukan aktivis akan bangun lebih cepat, berwudhu dan shalat sunnah fajar sebelum subuh di masjid, lalu shalat berjama’ah, berdzikir,baru pulang. 

Sedangkan aktivis dakwah, bangun pukul 04.00, ambil wudhu dan qiyamullail beberapa raka’at ditambah witir. Mungkin juga akan menambah hafalan Quran baru atau memuraja’ah hafalan lama. Lalu ia akan berdoa dengan khusyuk, karena ia tahu, ia tahu bahwa waktu-waktu seperti itu (menjelang azan subuh dan 1/3 malam terakhir) adalah waktu-waktu paling mustajab untuk berdoa (dia tahu ilmunya). Barulah ia ke masjid dan shalat sunnah fajar setelah azan, ia berdoa lagi karena waktu di antara azan dan iqamah adalah waktu yang mustajab juga. Setelah shalat shubuh berjama’ah ia berdzikir sesuai dzikir yang diajarkan Rasulullah, atau membaca al-Ma’tsurat. Namun ia tidak akan pulang dulu ke rumah/kos/wisma sampai sepuluh menit setelah waktu syuruk. Dengan apa waktunya diisi selama itu? Bisa saja ia tilawah atau muraja’ah hafalan yang dihafal sebelum subuh tadi atau melanjutkan hafalan baru lagi. Beberapa menit setelah syuruk, sekitar pukul 07.00, ia tutup ibadahnya dengan dua raka’at dhuha atau lebih. Ia tahu ilmunya bahwa siapa yang beribadah kepada Allah di masjid setelah subuh dan ditutup dengan dua raka’at dhuha, ganjaran pahalanya adalah sama dengan tiga kali haji bersama Rasulullah.

Bayangkan dengan dua orang pertama tadi, dalam waktu yang sama, sudah berapa banyak perbandingan pahalanya?? Belum lagi pahala yang dilipatgandakan oleh Allah. Contoh di atasbaru satu jenis ibadah saja, yaitu shalat shubuh dan sunnah-sunnah yang ada pada waktu shubuh, belum ibadah lainnya seperti puasa, dalam tilawah pun banyak sunnah-sunnahnya seperti berwudhu, bersiwak, menghadap qiblat, memenuhi hak-hak tiap huruf yang dibaca, dalam berwudhu juga banyak sunnahnya seperti memanjangkan putihnya, mengalirkan air ke lubang hidung, membaca doa tertentu setiap membasuh anggota wudhu. Wah, kalau semuanya disebutkan tema ashalah jadi melenceng. Tidak perlu semua orang islam seperti orang ketiga ini, cukup para aktivis saja yang seperti itu, organisasi dakwah ini akan sangat berkah dan akan menjadi rujukan organisasi manapun, baik organisasi Islam maupun tidak, ana yakin kita bisa mengubah peradaban ini dalam waktu singkat.

Nah, setelah kita memahami seperti apa seharusnya kepribadian seorang aktivis dakwah. Kita juga pasti akan tahu bagaimana seharusnya berdakwah terkhusus di lingkungan kita. Ini peninjauan ashalah dari sisi lokal (mahaliyah). Dikampus, apakah sasaran kita hanya pengurus organisasi dakwah saja yang akan dijaga ke istiqamahannya? Apakah hanya mahasiswa pada umumnya? Karyawan-karyawan, tukang sapu, bahkan dosen-dosen juga harus merasakan kehadiran kita. Berbaur dengan mereka, menggunakan bahasa dan gaya mereka. Sebagaimana Rasulullah saat memulai dakwah jahriyahnya di bukit Shafa, tempat dimana orang Quraisy biasa mengumumkan berita-berita penting, dan menggunakan bahasa yang sudah membudaya di masyarakat Quraisy sebagai pembuka. Atau seperti Hasan al-Banna dengan kepribadiannya yang memukau, penyampaian ceramahnya sederhana namun menarik, sehingga masyarakat dari berbagai kalangan dengan mudah menerima dakwahnya. Hanya dalam beberapa tahun saja, ia sanggup mengumpulkan orang-orang yang ikhlas mengikuti pemikiran dan kepribadiannya.

Ya, itulah kemurnian dakwah, kembali pada keasliannya sebagai sesuatu yang memang harus disebarkan. Dari penjabaran di atas, didapat bahwa seorang aktivis dakwah itu, memiliki kekuatan ruhiyah yang lebih dari yang lain, memikirkan regenerasinya atau pengkaderan yang efektif sebagai penerusnya nanti. Harus stereo, tidak mono menjalankan rutinitas kegiatan seperti novel yang di dalam sekali kepengurusan, ada awal, klimaks, lalu akhir. Lalu dimulai lagi dalam kepengurusan baru. Tired deh.. 

Kemurnian dakwah ini sesuatu yang harus dikembalikan, itu semua akan terwujud dengan satu buah kunci saja, yaitu keikhlasan, pandangan atau bashirah yang tajam dan memiliki harapan untuk kelanjutan dakwah ini.

Wallahu a’lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar