Halaman

Jumat, 05 Desember 2014

La Tahzan Innallaha Ma’ana

#Cerita dari salah seorang teman

Malam-malamku sebulan terakhir ini bertabur doa lewat istikharah. Doa harapan senantiasa kumohon dalam sujud-sujud wajibku dan qiyamul lail. Semoga Allah segera mengabulkan doaku ini. Egois memang rasanya tak berhak menuntut segera menjadi kenyataan namun aku yakin Allah Maha Mendengar. 

Bismillah…
Oke, perkenalkan namaku Pipit Kini aku masih tercatat sebagai mahasiswi salah satu universitas swasta di Jogja. Tak hanya itu aku juga “nyambi” bekerja di salah satu sekolah menengah pertama sebagai guru honorer. Pekerjaaan ini sudah aku tekuni sejak aku menginjak di semester 6 lalu. Yah, hidup sendiri tanpa saudara di Jogja memaksaku untuk tidak berpangku tangan mengandalkan uang kiriman dari orang tua di Borneo sana.

Hari-hari akhir untuk masa perkulihanku sudah di depan mata. Aku sudah mengikuti KKN, PPL, skripsi dan serentetan tugas-tugas lainnya. Pertengahan Juli tahun ini aku akan segera wisuda S-1, Alhamdulillah… semoga lancar, Aamiin. Namun hal itu tidak terlalu mengganggu pikiranku, meski aku juga dag-dig-dug menanti moment special tersebut tapi jauh dalam hatiku terselip pikiran yang lebih mengganjal. Dua minggu yang lalu orang tuaku datang ke Jogja. Sangat tak ku sangka sebab sebelumnya baik Ayah atau Ibu tak pernah membicarakan hal ini. Waktu itu mereka sampai di kostku sekitar pukul 3 sore. Selepas sholat maghrib tanpa ba-bi-bu panjang lebar kedua orang tuaku membicarakan niatnya datang ke Jogja. Enough… sudah aku duga sebelumnya, setelah wisuda nanti kedua orang tuaku ingin aku segera menikah. Menikah Oh, siapa sih yang gak pengen melaksanakan sunnah Rasul tersebut menyempurnakan separuh agamanya. Tapi.. tapi.. hey apakah ini tidak terlalu terburu-buru… Juli tahun ini umurku baru 23 tahun lebih 5 bulan dan itu umur yang menurutku masih amat sangat terlalu muda sekali.

“pokonya cepet pulang ya nduk.” ucap wanita paruh dari seberang sana. “iya iya Bu, besok Pipit segera meluncur ini juga baru “ngepak-ngepak” kok.” Jawabku sopan. “yasudah, kamu terusin lagi, ini Ibu mau ngaji di rumah Bu Mawardi…” Ucapnya lagi dengan memberi tanda mengakhiri percakapan singkat ini.

Haaahh… aku menarik napas dalam-dalam.. 4tahun silam, di kota ini, aku bermimpi dan melabuhkan harapan-harapan itu, mencoba merangkai asa semua tentang dinamika hidup. Yah, Jogja..aku mengenalmu tak hanya dalam hitungan hari atau bulan tapi bertahun-tahun. Menimba ilmu dan menemukan arti sebuah perjuangan bertahan hidup. Mempertemukan aku dengan banyak pelajaran banyak hal banyak orang, kampus, teman-teman, pacar. Eh…pacar Dan kini sudah tiba saatnya aku kembali ke pulau seberang, yeah Borneo I’m coming

-4 hari kemudian-“gimana nduk…sudah ada yang kamu pandang cocok.” kata Ayahku mengawali perbincangan sore itu di ruang tamu. “ini kebetulan Ibu ada foto dan data dari para ikhwan.” Tambah Ibuku sambil menyodorkan lembaran-lembaran kertas dan beberapa foto.

Aku mengambilnya. Jantungku berdegup kencang keringat dingin menyerang tangan pun gemetar. Aku amati satu persatu ikhwan-ikhwan tersebut dalam foto dan kubaca biodatanya. Aku tak mengerti sebenarnya apa maksud semua ini. Kenapa kedua orang tuaku sangat bersikeras bahwa aku harus segera menikah. Padahal apa, aku ini masih muda kuliah juga baru selesai kerja pun belum dapat apa-apa pengalaman dunia luar pun masih kurang. Dan yang lebih memilukan, aku sudah punya pacar. Bayu, yah dia pacarku selama 2,5 tahun ini. Dia satu kampus denganku namun berbeda prodi dan Juli kemarin pun dia juga wisuda.

Satu minggu sebelum kepulanganku, aku mencoba bercerita semuanya. Namun segera ku urungkan niat itu ketika kami bertemu disebuah kafe. Kulihat wajah wibawanya, kutatap dua sorot matanya. Jauh. Dalam. Hatiku semakin kalut, sakit, semua kenangan dengannya itulah yang menghambat tenggorokanku menyumbat sekat antara hati, pikiran, dan perasaan. Bulir dari tetes air mataku pun memecah keheningan senja itu. Bayu mengangkat wajahku. Menatap lekat.

Tampaknya Bayu merasakan keanehan dalam diriku jauh-jauh minggu sebelumnya. Sikapku yang tiba-tiba cuek, judes dan sangat sensitif. Tidak nyaman. Namun, dia memahami dan tidak curiga bahwa aku menyimpan rahasia yang menyakitkan. Meskipun begitu kami masih berkomunikasi dengan baik layaknya orang pacaran. Tiap malam dia juga menelepon. Memberi pesan agar aku selau baik-baik di rumah dan menyempatkan memberi kabar. Dia juga menitip salam buat kedua orang tuaku.

Kembali… aku hanya diam, menahan napas beberapa detik dan melepaskannya pelan. Ada air tertahan dalam pelupuk mataku. Sakit. Aku meletakkan foto-foto itu di atas meja tanpa berkomentar dan tidak berani menatap kedua orang tuaku. Aku sangat terpojok dalam situasi seperti ini. Aku ingin berlari ke kamar namun tubuhku mendadak berat kaki pun kaku. “nduk Pit ” Tanya Ibuku tiba-tiba. Aku kaget dan tanpa sadar aku pergi meninggalkan mereka berdua. Menangis. 
-RSJ Mitra Sehat, 09.30 a.m-

“kakak… apa kabar ini kami datang membawa buah apel kesukaan kakak.” Ucapku lirih pada wanita di depanku. Muhaima Safitri, kakakku yang pertama dan yang terakhir. Dia sedang sakit, sakit jiwa lebih spesifiknya. Tiga tahun berada di rumah sakit ini berharap mendapatkan perawatan dan dapat mengobati sakitnya. Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil. Semua berawal ketika kakakku ingin menikah dengan seorang ikhwan asal Padang. Rencana yang indah-indah pun sudah kami susun. Hajatan, pengajian, baju pengantin, kado-kado, makanan, dekorasi semua tak berguna lagi ketika 1 hari sebelum ijab qobul si ikhwan dan keluarga tak kunjung datang. Sms dan telepon sudah dilakukan. Hingga kami mendapat kabar dari saudara si ikhwan bahwa pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Astaghfirullah keluarga kami pun “geger” bukan kepalang apalagi kakakku yang langsung pingsan waktu mendengar itu semua. Dan inilah, sampai sekarang semua itu mungkin menjadi sebab kakakku stress, depresi, frustasi atau apa entahlah yang jelas jiwanya terganggu.

“kakak jangan sedih ya jangan menyerah kami selalu ada kok pokonya kakak harus semangat, doa kami yang terbaik untukmu kak.” Ucapku lagi sambil memeluk wanita ini. Tiba-tiba air mataku menetes membasahi kerudung birunya. Dia hanya tertawa layaknya orang gila di jalanan. Memandang kami sinis tak sadar bahwa kami adalah keluarganya.

“nduk, kami melakukan semua ini untuk kebaikanmu. Kami ingin kamu bahagia.” “iya Pipit tahu Bu, tapi apa ini tidak terlalu buru-buru, menikah semuda ini. Bukan maksudku tidak mau tapi menurutku ini belum waktunya. Aku belum bekerja Bu, belum mengabdikan ilmu yang ku dapat selama 4 tahun di Jogja.” “Ayah, Ibu…aku mohon beri waktu buat Pipit untuk berpikr. Aku belum siap meskipun ini sunnahnya. Pipit… Pipit juga sudah punya pacar kok Bu.” “nduk, kamu boleh berpacaran dengan siapapun asalkan dia baik. Baik dalam hati tentunya, tapi untuk pacarmu di Jogja itu maaf Ayah tidak setuju.” “kami tidak ingin kamu sembarangan mencari pasangan hidup nduk, ini pasti yang terbaik untukmu. Kami tidak ingin nasibmu sama dengan Kak Ima.” Deg…jantungku seolah berhenti, jadi selama ini alasan orang tuaku menyuruh segera menikah agar aku tidak seperti Kak Ima yang bernasib gila itu yang akan menjadi stress muda gara-gara ditinggal mati calon suaminya itu Ya Allah… mengertikanlah mereka
\
Seiring berjalannya waktu… Sebelum proses ta’aruf dengan ikhwan yang mengajar tahsin ini aku sempat ta’aruf dengan ikhwan lain di luar kota atas info pamanku. Aku sreg dan mantap dengannya setelah kuperoleh biodata tentangnya. Selain, shalih, rajin ngaji, sarjana dia juga sudah mapan. Soal fisik dari yang kubaca, dia tipe yang ideal yang dicari para wanita. Nah, siapa yang tak senang ditawari ikhwan seperti itu. Sekarang aku hanya perlu bersabar dan berdoa tentang semua ini. Tapi, harapan tinggal harapan. Proses tak berlanjut seperti impianku. Tiga hari kemudian aku mendapat kepastian bahwa ikhwan mundur. Alasannya karena fisikku. MasyaAllah, meski sangat kecewa aku terima keputusan ini. Maklumlah, fisikku memang sangat tidak “berkelas” tinggiku tak lebih dari 155cm kulitku juga tak seputih kebanyakan wanita lainnya. Namun, Alhamdulillah, ku syukuri pemberian-Nya kubesarkan hati InsyaAllah masih ada ikhwan yang menerima kekurangan dan mau melihat sisi positifku.

Hingga suatu ketika ada tawaran untuk ta’aruf lagi, dengan bismillah aku menyambutnya. Proses memang agak lambat. Aku harus menunggu sepekan untuk memperoleh biodatanya. Teman perantaraku bilang dia nggak mau gegabah karena sangat berhati-hati. Dia seorang sarjana S1 teknik industri. Soal pekerjaan pun dia terkesan sangat merendahkan. Dan kurasa itu tambahan nilai plus untuknya. Kuceritakan diriku dan keluargaku apa adanya. Berbeda dengan si ikhwan yang latar belakang agamanya sudah bagus. Sementara aku saja baru berkerudung kecil, itupun kalau mau brpergian. Aku bukan anak pondok pengetahuan tentang ilmu agama sangat terbatas. Jujur saja aku merasa minder, akankah latar belakang keluargaku menjadi nilai minus-ku untuk melanjutkan proses ta’aruf ini ataukah mukjizat Allah berpihak kepadaku atau bahkan Allah merencanakan kehendak lain

Dalam penantian yang cukup membuatku galau ini, tiba-tiba saja kabar mengejutkan datang dari Bayu. Hey…aku sudah melupakannya, ehm hampir maksudku. Sosok yang kini agak asing di hatiku. Yah waktupun yang menjawab semua aku jujur adanya bahwa kembaliku ke Borneo untuk menerima tuntutan ini, tuntutan untuk menikah.. lucu ya Aku tahu ini sangat menyakitkan baginya, bagiku juga (dulu). Aku tak dapat menerima kenyataan ini melepas orang yang ku sayang demi menuruti kemauan orang tua. Alasannya simple, karena Bayu menurut Ayah tak baik untukku. Itu saja. Namun semua itu dapat aku pahami perlahan meskipun butuh waktu untuk menata hati.

Assalamualaikum, hai Pipit apa kabar ku hrp kau baik-baik sja, ehm.. aku tau ini adlh keadaan yg berat utk kita tp yah aku mengerti memang sejak awal keluargamu tak membuka restu utk ku. No problem aku bisa terima mski sakit dan trpaksa. biarkan smua brlalu. Semoga kamu bahagia dg plihan itu. Oh ya aku jg sudah mendapatkan penggantimu, namanya Intan. Doakan smoga kami langgeng. Wsslam.

Kurang lebih seperti itulah sms dari Bayu. Mungkin itu sms terakhir darinya saat ini. Membaca semua itu membuat pikiranku kembali ke masa-masa kuliah. Tiba-tiba saja hatiku tak karuan, orang yang dulu selalu menemaniku di Jogja yang selalu membuatku jengkel karena sifat cueknya yang selau “ngemong” saat aku bertingkah manja yang selalu bersikap dewasa dan wibawa ketika aku merasa lelah yang harus aku tinggalkan demi orang lain yang sekarang tak tahu kepastiaannya justru kini sudah mendapatkan penggantiku. Ya Rabby di tengah harapanku yang belum pasti lagi ini tetap kuatkan hatiku rengkuh jiwaku dan kuatkan keimananku. Karena sampai saat ini masih ku junjung harapan itu. Tak berhenti aku berdoa, jika ikhwan itu jodohku, semoga Engkau dekatkan namun jika tidak, aku harap aku bisa menerima ini dengan lapang dada. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar